Sabtu, 15 Januari 2011

Ta’aruf Syar’i, Solusi Pengganti Pacaran


Pertanyaan:
1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?

Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:

بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ

Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ

“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya :

وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ

“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً

“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ...

“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ

“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا

“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .
Wallahu a’lam.

Rabu, 05 Januari 2011

Fatwa ulama seputar rambut wanita - model (II)
Kamis, 06 Januari 2005 - 02:59:25 :: kategori Kewanitaan
Penulis: Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-'Ilmiyyah
.: :.
Pertanyaan :

Apa hukumnya jambul yang digunakan oleh sebagian wanita? Yaitu jambul rambut dari atas dahi yang dipintal beberapa helai kemudian dibiarkan terulur ke depan?

Jawaban:
Alhamdulillah, jika tujuan memakai jambul seperti itu untuk menyerupai wanita-wanita kafir dan sesat maka hukumnya jelas haram. Sebab tasyabbuh (meniru-niru) non muslim hukumnya haram. Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam : "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka."

Adapun jika tujuannya bukan untuk menyerupai mereka, namun hanya sebatas model yang sedang populer di kalangan wanita, maka menurut kami hal itu boleh, selama hal itu tergolong perhiasan yang dipakai untuk berhias diri di hadapan suami dan dapat menaikkan kedudukannya bila dipakai di hadapan teman-teman sebayanya. (Fatawa Lajnah Daimah V/181)

Pertanyaan :
Apa hukumnya wanita yang memendekkan rambutnya karena darurat, misalnya kaum wanita di kerajaan Inggris beranggapan bahwa mencuci rambut panjang adalah suatu hal yang sulit bagi mereka khususnya pada musim dingin, oleh karena itu mereka memendekkan rambut mereka.

Jawab:
Alhamdulillah, mereka dibolehkan memendekkan rambut sesuai kebutuhan jika kondisinya seperti yang diceritakan di atas tadi. Adapun jika mereka memotongnya dengan motif meniru wanita-wanita kafir tentu saja tidak dibolehkan. Berdasarkan hadits nabi yang berbunyi: "Barangsiapa menyerupai satu kaum maka ia termasuk golongan mereka."
(Fatawa Lajnah Daimah V/182)

Pertanyaan:
Isteriku mengeluh rambutnya banyak yang rontok dan telah dikatakan kepadanya untuk memendekkannya, hal ini akan mengurangi yang rontok (dari rambut). Apakah hal ini diperbolehkan ?

Jawaban :
Jika keadaannya seperti disebutkan, maka diperbolehkan (untuk memotong rambut menjadi pendek) karena hal ini akan mencegah kemudharatan lebih lanjut.

Dan disisi Allah-lah seluruh kesuksesan dan semoga Allah memberikan sholawat dan salam atas Nabi kita (Shalallahu `alaihu wasallam) dan keluarganya dan sahabatnya.

Komite Tetap untuk Riset Islam Dan Fatawa Saudi Arabia

Ketua : Syaikh 'Abdul 'Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz
Wakil : Syaikh 'Abdur-Razaq ' Afifi
Anggota : Syaikh ' Abdullah Ibn Ghudayyan
Anggota : Syaikh ' Abdullah Ibn Qu'ud

Fataawa al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-'Ilmiyyah Wal-Iftaa Saudi Arabia,- Jilid 5, Halaman 182, Pertanyaan nomor 1 dari fatwa No. 6259; Fatawa wa Ahkaam fi Sya'r an-Nisaa- Pertanyaan 28, Halaman 33.

(Diterjemahkan dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/womensissues/beautification/bea001/0020622.htm)

Minggu, 17 Oktober 2010

Zainab radhiyallahu ‘anha binti Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Oleh : Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib


Zainab Putri Rasulillah, Keteladannya Bersetia Kepada Suami

Tak lama setelah pernikahan Muhammad bin Abdillah Al-Hasyimi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dengan Khadijah bintu Khuwailid Az-Zuhri radliyallahu `anha, lahirlah anak pertama bagi pasangan berbahagia ini, seorang putri yang kemudian dinamakan Zainab. Tepatnya peristiwa kelahiran itu terjadi pada sepuluh tahun sebelum diangkatnya sang ayah menjadi Rasulullah (yakni utusan Allah). Ia lahir dalam keluarga yang dibangun oleh pasangan suami istri yang menjadi teladan kemuliaan di kalangan Quraisy, sehingga dalam dirinya mengalir darah kemuliaan ayah bundanya. Dia juga menyaksikan akhlaqul karimah keduanya dalam kehidupan rumah tangga dan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tumbuhlah Zainab menjadi gadis kecil yang menarik parasnya serta menakjubkan akhlaqnya bagi keluarga terdekat dan keluarga jauh kalangan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, bahkan bagi segenap Quraisy.
Diantara orang yang banyak menaruh perhatian kepada si gadis kecil Zainab, adalah seorang remaja bernama Abul Ash Laqith bin Ar-Rabi’ bin Abdis Syams bin Abdi Manaf bin Qushai Al-Qurasyi, yang ibunya bernama Halah bintu Khuwailid Az-Zuhri adik kandung Khadijah. Sedangkan dari pihak ayahnya, Abul Ash bertemu nasab dengan Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam pada Abdi Manaf bin Qushai. Remaja lajang ini kerap bertandang ke rumah bibinya, yaitu Khadijah bintu Khuwailid Az-Zuhri. Dan setiap berkunjung ke rumah sang bibi, iapun menyaksikan betapa perangai si gadis kecil yang menakjubkan. Sehingga suatu hari Abul Ash dengan keluarganya mendatangi rumah Muhammad bin Abdillah Al-Hasyimi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam untuk meminang Zainab bintu Muhammad Al-Hasyimi untuk diperistri oleh Abul Ash Laqith. Abul Ash sendiri adalah seorang remaja yang sangat mulia akhlaqnya di kalangan karib kerabat handai taulan. Maka dengan beberapa keistimewaan Abul Ash seperti ini, pinangannya pun segera diterima dengan senang hati oleh Muhammad bin Abdillah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.
Pesta pernikahan dilaksanakan untuk pasangan muda belia Zainab bintu Muhammad Al-Hasyimi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dengan Abul Ash Laqith bin Ar-Rabi’ dari Bani Abdis Syams. Sehingga berkumpullah dalam pesta pernikahan itu Bani Hasyim, Bani Zuhrah, Bani Abdis Syams serta para tamu undangan lainnya. Zainab adalah putri Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang pertama kali menikah. Dan dalam kesempatan pernikahan tersebut ibunda Zainab, menyerahkan kado pernikahan berupa seperangkat kalung emas permata yang indah untuk menyenangkan putrinya sebagai kenang-kenangan dari ibunda tercinta. Dan berbahagialah pasangan suami istri ini dalam mengarungi kehidupan rumah tangga dengan ikatan cinta asmara.


RIAK-RIAK GELOMBANG KEHIDUPAN RUMA TANGGA

Setelah mereguk kebahagiaan rumah tangga, mulailah datang onak dan duri menghadang kebahagiaan itu. Di suatu hari Abul Ash, sang suami tercinta, berangkat menuju negeri Syam untuk berdagang mencari rizki di sana. Zainab tinggal di rumah mendampingi putra putrinya dengan kasih sayang seorang ibu. Di masa kepergian sang suami dengan kafilah dagangnya, datang berita mengejutkan bagi Zainab tentang Ayahandanya yang amat dia cintai itu. Muhammad bin Abdillah Al-Hasyimi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam telah diangkat oleh Allah menjadi utusan-Nya dan diperintah oleh-Nya untuk mengajak sekalian manusia kepada agama Allah, yaitu agama yang mengajarkan tauhidul ibadah (yakni mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadatan) dan akhlaqul karimah (yakni perangai yang mulia). Ajaran Tauhidul Ibadah, bagi orang-orang Quraisy adalah ajaran yang sangat aneh dan amat bertentangan dengan kebiasaan mereka yang suka berbuat syirik itu. Banyak pula dari ajaran Islam yang diserukan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang menyelisihi kebiasaan orang Quraisy dan orang Arab secara keseluruhan bahkan bagi ummat manusia semuanya. Sehingga dengan sebab inilah meledak isyu pergunjingan di kalangan Quraisy dan orang-orang Arab di jazirah Arabiah tentang Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam tempo sekejap. Zainab pun mencari tahu tentang kebenaran isyu ini langsung dari ayah bundanya. Dan Zainab setelah mendapat penjelasan tentang kebenaran Kerasulan sang ayah, iapun langsung beriman kepada Islam tanpa harus menunggu kedatangan sang suami tercinta. Karena dia lebih cinta kepada kebenaran daripada kecintaannya kepada sang suami. Namun karena kecintaannya kepada suami, dia berharap kiranya sang suami mendapat hidayah dari Allah Ta’ala untuk beriman dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.
Ketika Abul Ash datang dari perjalanannya, dalam suasana melepas rindu, Zainab memanfaatkan kesempatan itu untuk mendakwahi sang suami dan meyakinkannya agar mau memeluk agama Allah. Namun Zainab mendapati kenyataan pahit yang tidak pernah diperhitungkannya. Abul Ash amat keberatan untuk memeluk Islam. Alasannya sangat berkaitan dengan urusan harga diri atau gengsi kearaban. Abul Ash kuatir, bila dia memeluk Islam, nanti orang Quraisy akan mengatakan bahwa Abul Ash di bawah pengaruh istrinya dan bisa dikatakan karena takut kepada istri maka dia masuk Islam. Bagi orang Arab, penilaian demikian ini adalah kerendahan dan kehinaan. Namun karena Abul Ash yakin bahwa kebenaran Islam itu tidak bisa ditolak, dia mengizinkan Zainab untuk memeluk Islam, agama Allah yang dibawa oleh ayahandanya. Di samping juga karena memang Abul Ash amat mencintai Zainab, istrinya yang amat mengagumkan akhlaqnya.
Dengan tersebarnya Islam di kalangan orang Arab di Makkah dan sekitarnya, mulailah keresahan muncul di kalangan para tokoh Quraisy yang merasa terancam kedudukannya di kalangan bangsa Arab. Dan datanglah penentangan terhadap dakwah Islamiyah itu, terutama dari para pimpinan Quraisy. Celakanya yang paling menentang justru paman beliau sendiri yaitu Abu Lahab bin Abdul Mutthalib Al-Hasyimi. Sehingga karena itu, turunlah satu surat khusus dari Al-Qur’an yang menyatakan kutukan dan celaan Allah Ta’ala terhadap Abu Lahab dan istrinya. Turunnya surat Al-Lahab ini membuat marah Abu Lahab dan keluarganya sehingga semakin garang saja permusuhannya terhadap Rasulullah dan keluarganya shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Dalam pada itu, kedua putra Abu Lahab yang bernama Utbah dan Uthaibah telah menikahi kedua putri Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang bernama Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Maka Abu Lahab pun menyatakan kepada kedua putranya: “Kepalaku haram untuk mengenal kalian berdua bila kalian tidak menceraikan istri-istri kalian itu.” Maka kakak beradik Uthbah dan Uthaibah putra Abu Lahab itu, menceraikan kakak beradik Ruqayyah dan Ummu Kultsum putri Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, sebelum kedua pasangan ini sempat saling bersentuhan sebagai layaknya suami istri. Bahkan Abu Lahab belum puas menghinakan kedua putri Rasulillah itu. Dia pun berusaha mendekati Abul Ash agar kiranya juga mau menceraikan Zainab untuk menghinakan putri-putri Rasulillah di hadapan Quraisy dan Arab secara keseluruhan.
Namun Abul Ash adalah seorang suami yang terpuji perangainya dan tidak mau ikut-ikutan dengan orang lain dalam mengingkari budi baik putri Rasulillah. Dia semakin sayang terhadap Zainab. Hal ini justru semakin menyulitkan Zainab dalam kaitannya dengan Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Karena di satu sisi dia sebagai istri harus tetap bersetia kepada suaminya, di sisi lain dia telah berbeda agama dengan suaminya. Yang masih meringankan posisi Zainab ialah, masih belum turunnya keputusan Allah yang melarang wanita Muslimah menjadi istri bagi pria yang beragama lain. Sehingga Zainab tetap dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam untuk menjalankan kewajiban istri kepada suami dengan sebaik-baiknya. Dan Abul Ash semakin kagum dengan Islam, karena Zainab semakin baik akhlaqnya setelah beragama Islam dan sikap Rasulullah sebagai mertuanya tidak berubah kebaikan budi pekerti beliau terhadap sang menantu, bahkan lebih menakjubkan. Karena itu Abul Ash tidak mau ikut-ikutan dengan keumuman Quraisy dalam memusuhi Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.


HIJRAH KE MADINAH

Setelah sekian belas tahun berlangsung rumah tangga Zainab dengan Abul Ash dengan suka dukanya, pasangan suami istri ini dianugerahi oleh Allah Ta’ala seorang putri yang diberi nama Umamah dan seorang putra yang diberi nama Ali. Permusuhan para tokoh Quraisy terhadap Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan terhadap dakwah yang dibawa beliau tambah keras. Sehingga semakin banyak Ummat Islam yang dianiaya oleh kalangan musyrikin Quraisy karena masuk Islam. Dan Abul Ash tetap melindungi istrinya dari segala gangguan dan tindak permusuhan mereka. sehingga akhirnya datanglah perintah dari langit agar Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan segenap kaum Muslimin berhijrah ke Al-Madinah. Karena Allah Ta’ala telah memilih kota Al-Madinah dengan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna sebagai markas kekuatan penyebaran Islam di dunia. Dengan keputusan Hijrah Nabi dan kaum Muslimin ke Al-Madinah ini, Zainab semakin terkucil dari kaum Muslimin. Karena dia tidak bisa ikut ayahnya hijrah ke Al-Madinah berhubung statusnya masih sebagai istri Abul Ash yang musyrik. Ini tentunya beban mental yang luar biasa bagi seorang wanita. Namun kesetiaannya kepada suami tidak memungkinkannya untuk berangkat hijrah ke Al-Madinah tanpa izin dari sang suami. Hidup penuh kegersangan dan keterasingan dijalani oleh Zainab dengan kesabaran dan terus berdoa kepada Allah Ta’ala, kiranya Allah Ta’ala menunjuki suaminya tercinta kepada Islam dan setelah itu dapat mengajak sang istri untuk berangkat hijrah ke Al-Madinah.
Permusuhan para tokoh musyrikin Quraisy terhadap Islam yang telah bermarkas dakwah di Al-Madinah semakin keras. Mereka semakin gigih memobilisasi suku-suku Arab di jazirah Arabiah untuk memusuhi Islam. Puncaknya adalah meletuslah peristiwa perang Badr antara pasukan Islam yang dipimpin oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, berhadapan dengan pasukan musyrikin Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahl dari Bani Abdi Syams. Maka karena Abul Ash dari Bani Abdi Syams, maka ia pun ikut pasukan musyrikin Quraisy yang dipimpin pamannya. Dalam pertempuran ini, Allah Ta’ala memenangkan pasukan Islam dengan kemenangan yang telak atas pasukan kafir Quraisy. Padahal kekuatan pasukan Islam dari sisi personel, logistik dan persenjataan, hanya sepertiga dari kekuatan musyrikin. Abu Jahal dan banyak tokoh musyrikin Quraisy, terbunuh dalam pertempuran itu. Orang-orang Quraisy mendapat pukulan dahsyat dari pasukan Islam yang dipimpin anak Quraisy yang paling mulia, yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim Al-Qurasyi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Lebih terpukul lagi, ketika beberapa puluh orang-orang kafir Quraisy ditawan di Madinah oleh pasukan Islam. Dan di antara orang-orang yang ditawan itu adalah Abul Ash, sang menantu Rasulillah. Juga ikut ditawan pasukan Islam, Abbas bin Abdul Mutthalib paman Rasulillah.
Dari permusyawaratan yang diadakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dengan para Shahabat beliau, diputuskanlah bahwa pembebasan semua tawanan itu harus dengan tebusan dari keluarga masing-masing. Maka berdatanganlah utusan keluarga-keluarga para tawanan itu dari Makkah ke Madinah untuk menebus anggota keluarganya. Di antara rombongan utusan yang datang dari Makkah itu, terdapat pula utusan dari keluarga Bani Abdis Syams untuk membebaskan Abul Ash. Utusan itu membawa kalung emas milik Zainab putri Rasulullillah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam untuk membayar tebusan bagi pembebasan suaminya. Dan ketika apa yang dibawa Bani Abdus Syams itu dilaporkan kepada Rasulillah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, beliau tertegun melihat kalung emas itu. Benda ini membangkitkan kenangan manis beliau dengan ibunya Zainab yang telah meninggal, yaitu Khadijah bintu Khuwailid istri Rasulillah yang paling dicintai dan dimuliakan olehnya. Karena kalung itu adalah hadiah perkawinan dari Khadijah untuk putrinya ketika sang buah hati menikah dengan Abul Ash. Tentu Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam amat terharu melihat betapa putrinya yang Mu’minah, telah menunjukkan kesetiaan dan kecintaannya kepada sang suami meskipun masih musyrik. Maka Rasul pun menawarkan kepada para Shahabat beliau tentang pembebasan Abul Ash ini sebagai berikut: “Aku senang kalau kalian melepaskan Abul Ash agar kembali ke Makkah tanpa tebusan. Kembalikan kalung itu kepada keluarga Bani Abdis Syams agar dikembalikan ke putriku. Tetapi bila kalian tetap menuntut tebusan pembebasannya, maka kalung itu menjadi fai’ (yakni harta rampasan dari orang kafir yang telah ditaklukkan).” Maka para Shahabat pun menyatakan: “Bahkan kami menghendaki untuk membebaskannya tanpa tebusan dan mengembalikan kalung itu kepada pemiliknya wahai Rasulallah.” Dengan jawaban demikian, tentu Beliau amat gembira. Lebih-lebih lagi yang paling gembira adalah Abul Ash dan keluarganya. Dalam suasana kegembiraan itulah Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam meminta kepada Abul Ash untuk mengizinkan Zainab berhijrah dari Makkah ke Al-Madinah. Dan Abul Ash pun berjanji sesampainya di Makkah akan melepaskan Zainab untuk berangkat hijrah ke Al-Madinah.
Sesampainya Abul Ash di Makkah dengan selamat, dia disambut dengan suka cita oleh karib kerabat handai taulan. Orang yang paling bahagia menyambut kedatangan Abul Ash, adalah istri tercinta yang sangat setia kepada Abul Ash. Zainab bintu Rasulillah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam menyambut sang suami dengan muka berseri-seri penuh kehangatan karena kerinduan yang tak tertahankan. Namun sang suami tetap murung meskipun orang-orang di sekitarnya bersuka cita menyambutnya. Tanda kemurungan di wajahnya menimbulkan pertanyaan penuh keheranan dalam diri Zainab khususnya. Ia tak tahan lagi menyimpan keheranan itu, sehingga dalam pertemuan empat mata dengan sang suami, ditanyakanlah kepadanya. Maka sang suamipun dengan berat hati menjelaskan kepada Zainab tentang kegundahannya. “Engkau harus berpisah denganku demi janjiku kepada ayahmu. Engkau harus berangkat menuju Yatsrib (nama kota Al Madinah sebelum Islam) untuk hidup di sana bersama ayahmu.” Mendengar penjelasan sang suami, Zainab tertegun dan tak mampu berucap sepatah katapun. Dia bingung antara kesedihannya harus berpisah dengan suami tercinta dan kegembiraan karena mendapat kesempatan berhijrah untuk bergabung dengan sang ayah yang jauh lebih dia cintai daripada suaminya. Keimanannya terus-menerus memanggil dia untuk berhijrah dari kota Al-Makkah Al-Mukarramah menuju kota Al-Madinah An-Nabawiyah.
Zainab tak panjang pikir lagi demi mendengar izin dari sang suami, diapun segera berkemas-kemas untuk membawa kedua putra putrinya berangkat hijrah ke Al-Madinah. Sementara itu Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam mengirim Zaid bin Haritsah dan seorang lagi dari kalangan Anshar untuk mengawal Zainab dan kedua putra putrinya dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Ketika persiapan berangkat telah dianggap selesai, saudara kandung sang suami yaitu Kinanah bin Ar-Rabi’ mempersilakan Zainab menaiki ontanya yang telah dipasang pada punggung onta itu tenda yang menandakan bahwa perempuan yang menungganginya akan menempuh perjalanan jauh. Waktu itu Zainab dalam keadaan hamil anak ketiga. Dan Kinanah bin Rabi’ ditugasi mengantar Zainab dan kedua putra putrinya untuk keluar dari kota Makkah sampai ketemu dengan Zaid bin Haritsah. Kinanah mengawal dan menuntun onta yang ditumpangi Zainab dan putra putrinya. Ia bersenjatakan busur panah dan anak panahnya dan mengajak keluar Zainab di siang hari yang terik. Kepergian Zainab sempat dilihat oleh beberapa orang dari kalangan musyrikin Quraisy. Sehingga berlarianlah orang untuk mengejar rombongan Zainab. Dan belum sampai Zainab keluar kota, dua orang tokoh pemuda Quraisy yang bernama Habbar bin Al-Aswad bin Al-Mutthalib bin Asad bin Abdul Uzza dan Nafi’ bin Abdi Qais Al-Fihri, berhasil mengejar rombongan itu. Sehingga keduanya langsung mengancam Zainab dengan tombak yang hendak dilamparkan ke arahnya. Kinanah pengawal Zainab segera memasang anak panahnya pada busurnya siap untuk dilucurkan ke arah kedua pemuda Quraisy itu. Sehingga Zainab mengalami ketegangan yang luar biasa dan akibatnya gugurlah janin yang ada di kandungannya. Zainab mengalami pendarahan yang dahsyat dan sangat lemas karenanya. Di saat yang demikian datanglah Abu Sufyan bersama rombongan para tokoh-tokoh Quraisy dan langsung berteriak kepada Kinanah: “Wahai lelaki, tahanlah anak panahmu agar kami dapat berbicara denganmu.” Maka Kinanahpun menurunkan anak panah dari busurnya. Abu Sufyanpun mendekat kepadanya sembari menasehatinya: “Engkau tidak benar dengan tindakanmu ini. Karena engkau keluar dari Makkah dengan wanita ini di hadapan orang-orang dengan terang-terangan. Padahal engkau tahu bagaimana musibah dan malapetaka yang barusan menimpa kita dan pukulan yang dihantamkan kepada kita oleh Muhammad. Sehingga orangpun akan merasa dengan keluarmu terang-terangan seperti ini membawa putri Muhammad untuk diantarkan kepadanya, adalah sebagai bukti kelemahan dan kehinaan kita orang Quraisy di hadapan Muhammad sebagai akibat musibah kekalahan perang yang baru saja menimpa kita. Demi umurku, sungguh kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk menahannya dari keinginannya berangkat menemui bapaknya. Dan sama sekali kita tidak berniat untuk membalaskan kemarahan kita kepada bapaknya dengan menyakiti putrinya. Akan tetapi pulanglah kembali kerumahmu di siang hari ini dengan wanita itu. Sehingga bila telah reda suara-suara kemarahan orang terhadap peristiwa ini dan orang Quraisypun merasa puas karena telah berhasil memaksa putri Muhammad untuk kembali ke Makkah. Maka silakan di saat demikian, engkau berangkatkan wanita itu dengan secara tersembunyi dan antarkan dia ke tempat ayahnya.” Mendengar nasehat ini, Kinanahpun segera membawa kembali ke Makkah, Zainab dan kedua putrinya. Dan beberapa hari setelah itu ketika orang terlelap dalam tidurnya, Kinanah membawa Zainab dan kedua putra putrinya keluar dari kota Makkah dan mengantarkannya dengan rahasia untuk menemui Zaid bin Haritsah dan seorang dari Anshar di luar kota Makkah yang telah menantinya sejak beberapa hari sebelumnya di suatu tempat yang bernama Wadi Ya’jaj. Dan dari tempat itu Zainab dan kedua putrinya diantarkan ke Al-Madinah oleh rombongan Zaid bin Haritsah. Sehingga sampailah Zainab ke pangkuan Ayah tercinta dengan membawa berbagai kepiluan yang dirasakannya demi menjalankan kewajiban Hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya.


BERKUMPUL KEMBALI DENGAN SUAMI TERCINTA

Kini Zainab telah berkumpul kembali dengan ayah yang sangat dicintainya di kota Al Madinah. Namun harapan di hati Zainab sebagai istri yang setia terhadap suaminya, tetap saja diadukan kepada Allah Ta’ala dalam doa yang terus menerus dipanjatkan kepada-Nya, kiranya sang suami dianugerahi petunjuk oleh-Nya kepada Islam dan kemudian menyusul istri dan mertuanya berhijrah ke Al-Madinah. Zainab tak pernah berputus asa mendoakan Abul Ash untuk itu. Ia terus meratap dan menangis kepada Allah meminta belas kasih-Nya bagi sang suami tercinta. Hari-hari penantian demikian panjang bagi Zainab, dan dia memang wanita Mu’minah yang amat yakin dengan janji pertolongan Allah terhadap hamba-Nya yang terus meminta kepada-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam menempatkan Zainab dan kedua putrinya di rumah tersendiri agar lebih leluasa membina kedua putra putrinya. Si kecil Ali dan Umamah menjadi pelipur lara bagi ibu yang terus saja merindukan kedatangan kekasihnya.
Di suatu hari kaum Muslimin diperintah oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam untuk menghadang kafilah dagang kaum musyrikin Quraisy. Saat itu tertangkaplah satu kafilah dagang yang kebetulan lewat. Kalangan musyrikin Quraisy yang ada dalam kafilah itu berhasil melarikan diri sambil meninggalkan segenap barang dagangannya. Maka kaum Muslimin pun membawa harta rampasan itu ke hadapan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Dan di keheningan malam yang kelam menjelang terbitnya fajar, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu rumah Zainab. Hati Zainab agak berdebar mendengar ketukan yang sangat dikenalnya itu. Zainab meyakinkan dugaannya, gerangan siapa yang mengetuk itu. Dari balik pintu ada jawaban: “Aku Abul Ash bin Ar-Rabi’ ayahnya Ali dan Umamah.” Zainab amat terkejut mendengar jawaban itu dan tanpa berpikir panjang lagi segera diapun membukakan pintu bagi orang yang dikasihinya itu. Abul Ash dipersilakan masuk dan pintu segera ditutup. Diceritakanlah oleh Abul Ash kepada Zainab bahwa dia datang ke rumah ini dengan sangat tersembunyi dan hati-hati. Karena Abul Ash melarikan diri dari kejaran kaum Muslimin yang menghadang kafilah dagangnya. Abul Ash berusaha meyakinkan Zainab bahwa barang dagangan kafilahnya yang dirampas kaum Muslimin itu adalah titipan orang-orang Quraisy di Makkah dan dia harus mengembalikannya. Karena itu dia memohon dengan sangat kepada Zainab untuk menyatakan perlindungan hukum bagi Abul Ash dan melobi ayahnya untuk mengembalikan barang rampasan itu. Maka dengan besarnya harapan Zainab agar kekakuan hati Abul Ash untuk menolak ajakan masuk Islam kiranya dapat ditaklukkan dengan akhlaq yang mulia, Zainab langsung keluar rumah dalam suasana kaum Muslimin sedang bersiap-siap menunaikan shalat subuh berjamaah dengan Rasulillah di masjid. Di saat demikian itu Zainab berteriak sejadi-jadinya menyatakan perlindungannya bagi Abul Ash. Teriakan itu didengar oleh banyak kaum Muslimin dan juga didengar oleh Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam. Dan setelah beliau memimpin salat shubuh di masjid beliau, langsung saja beliau bertanya kepada segenap jamaah: “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?” Para jamaah pun menjawab: “Ya, kami mendengar apa yang anda dengar.” Maka Rasulullah pun langsung berdiri dan keluar masjid menuju ke rumah Zainab putrinya. Beliau memperingatkan putrinya untuk jangan terlalu dekat dengan Abul Ash karena dia belum masuk Islam. Dan Zainab meminta kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam untuk memerintahkan kepada kaum Muslimin guna mengembalikan seluruh harta yang dirampas dari kafilah dagangnya Abul Ash.
Beliau sangat iba demi melihat permintaan Zainab yang sangat memelas itu. Karena beliau sangat tahu betapa putrinya ini sangat mencintai Abul Ash dan juga beliau mengenal betapa akhlaq Abul Ash yang mulia dan terhormat meskipun dia belum jua mau memeluk Islam. Beliau adalah orang yang selalu mengingat kebaikan orang meskipun orang itu kafir. Ketika Abu Lahab yang notabene adalah paman beliau sendiri memaksa putra-putranya menceraikan putri-putri Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dengan penuh kehinaan, Abul Ash justru sangat memuliakan Zainab dan melindunginya sebagai istri yang amat dicintainya. Ketika Abul Ash dibebaskan dari status tawanan perang Badr tanpa tebusan apapun, dia berjanji kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam untuk mengijinkan Zainab berangkat hijrah ke Al-Madinah dan membantunya untuk meninggalkan kota Makkah. Dan Abul Ash memenuhi janjinya sehingga Zainab akhirnya dapat menjalankan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya dengan sempurna. Semua kebaikan Abul Ash ini sangat dikenang oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Sehingga beliaupun meluluskan permintaan putri beliau yang amat dicintainya itu. Namun beliau sangat kuat berpegang teguh dengan syari’at Allah, sehingga untuk meluluskan permintaan putrinya itu beliau mengajak musyawarah para Shahabat beliau dengan menyatakan kepada mereka: “Harta kafilah dagang Abul Ash telah kalian rampas dengan sah. Namun bila kalian mau, kalian kembalikan saja seluruh harta itu kepadanya dan ini yang aku senangi. Akan tetapi bila kalian tidak mau mengembalikannya, jadilah harta itu sebagai fai’ yang Allah berikan bagi kalian.” Mendengar omongan beliau ini, kaum Muslimin dengan aklamasi menyatakan pilihannya untuk mengembalikan semua harta itu kepada Abul Ash dengan penuh keikhlasan. Dan Abul Ash menerima pengembalian semua harta itu dengan suka cita.
Abul Ash bergegas membawa harta kafilah dagangnya kembali ke Makkah dan sesampainya di Makkah dia menunaikan segenap harta itu kepada masing-masing pemiliknya dengan sempurna. Dan setelah itu Abul Ash bertanya kepada mereka: “Apakah aku telah menunaikan dengan sempurna seluruh harta milik kalian yang kalian titipkan kepadaku?” Merekapun serentak menjawab: “Bahkan engkau telah menunaikan dengan sempurna seluruh apa yang kami titipkan kepadamu.” Dengan jawaban mereka yang demikian itu Abul Ash amat lega, karena gengsi dan kehormatannya telah diselamatkan oleh Muhammad bin Abdillah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Abul Ash adalah orang yang sangat gigih menjunjung kehormatan dirinya dengan akhlaq yang mulia. Dan hal ini telah diakui oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Karena itu Abul Ash sangat luluh hatinya dengan sikap yang mulia dan terhormat dari Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam serta amat menghargai kehormatan orang meskipun belum masuk Islam. Akhlaq yang mulia inilah yang meluluhkan kekerasan hati Abul Ash untuk kemudian merasakan dan melihat kebenaran Islam. Ia tidak punya pilihan lain, kecuali mengikuti suara hati kecilnya untuk mengingkrarkan dua kalimat Syahadat. Abul Ash menegaskan di hadapan para tokoh-tokoh Quraisy: “Ketahuilah, sesungguhnya aku ingin menyatakan masuk Islam ketika aku masih di Madinah. Tetapi karena aku kuatir kalian menganggap bahwa aku masuk Islam karena ingin memakan harta kalian yang ada padaku, maka aku menundanya sampai aku telah mengembalikan segenap harta kalian dengan sempurna. Dan sekarang ketauhilah oleh kalian, bahwa aku telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah yang membawa kebenaran. Aku setelah ini akan hijrah ke Madinah untuk bergabung dengan saudara-saudaraku Kaum Muslimin di sana.” Para tokoh musyrikin Quraisy hanya tertegun lemas mendengar pernyataan Abul Ash dan mereka tak mampu berbuat apa-apa ketika melihat Abul Ash terang-terangan di hadapan mereka berangkat menuju kota Al-Madinah meninggalkan kota Al-Makkah.


SUKA CITA MENYAMBUT SUAMI YANG TERCINTA

Berita masuk Islamnya Abul Ash telah sampai ke Al-Madinah, meskipun dia masih di perjalanan. Para kafilah yang mendahului keberangkatan Abul Ash dari Makkah telah menyampaikan berita penting ini kepada para penggembala kambing ketika kafilah itu melewati mereka menuju negeri Syam. Dan para penggembala itu menyampaikannya kepada kaum Muslimin di Al-Madinah. Tentu kaum Muslimn amat gembira dengan berita ini, karena mereka tahu betapa Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam menghormati Abul Ash dan lebih-lebih lagi putri Rasulullah sangat mencintai Abul Ash dan merindukannya untuk datang ke Madinah sebagai Muhajir di jalan Allah. Berita ini juga telah sampai ke telinga Zainab dan diapun terhenyak dari segala lamunan kerinduannya. Dia dalam harap dan cemas, kiranya Abul Ash segera sampai di Madinah dengan selamat dan sejahtera. Yang berarti impian kerinduannya akan segera terwujud. Hari demi hari dia nantikan, rasanya di saat demikian masa sehari itu berjalan sangat lama. Dia terus memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala untuk Melindungi Abul Ash dari segala mara bahaya dalam perjalanannya dari Makkah ke Madinah. Dia bersyukur kepada Allah yang telah menunjuki Abul Ash untuk masuk Islam dengan penuh kemuliaan. Dan akhirnya Abul Ash sampai dengan selamat di kota Madinah. Kaum Muslimin menyambutnya dengan suka cita dan langsung mengantarkannya ke Masjid untuk menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Kaum Muslimin menyaksikan, betapa berseri-serinya wajah Rasulullh shallallahu `alaihi wa alihi wasallam ketika menyambut Abul Ash dalam keadaan telah beriman dan berhijrah. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam langsung menggandeng Abul Ash ke rumah Zainab dan mempertemukannya dengannya sebagai suami istri tanpa memperbaharui akad nikahnya. Allah Ta’ala Maha Tahu, saat kapan yang paling baik untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Karena Dia berbuat selalu dengan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna. Baru sekarang Zainab meneguk bahagia setelah kurang lebih empat belas tahun berdoa dan berdoa mengharap kepada Allah Ta’ala untuk menunjuki Abul Ash masuk Islam. Baru sekarang Zainab merasakan bahagia berkumpul dengan suami dalam keadaan seiman. Allah Maha Sempurna Hikmah-Nya, Dia tidak segera mengabulkan doa Zainab sehingga karenanya tampak nyata betapa kuatnya kesabaran hamba-Nya ini dalam menanti pertolongan Allah dan betapa mulianya dia dalam kesetiaan yang dipersembahkan kepada suaminya. Lebih dari itu ditunjukkan pula betapa mulianya akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam membalas budi baik orang meskipun dari orang yang belum masuk Islam. Bahkan lebih dari itu semua, apa yang Allah taqdirkan dengan kejadian ini semakin menunjukkan betapa Islam itu adalah agama rahmah dan mengajarkan sikap pemaaf dan penyayang dan tidak gampang menghukumi dengan kebengisan dan amat mempertimbangkan keadilan serta hak orang.


MENINGGAL DUNIA

Sejak dia keguguran di saat menjelang keluar kota Makkah dalam rangka hijrah ke Madinah, Zainab terus menerus mengalami pendarahan pada rahimnya. Dan akhirnya setelah dia puas dalam berumah tangga di kota Madinah dengan suami tercinta dan dua anak yang dihasilkan dari cinta mereka berdua, penyakit Zainab semakin serius sehingga ia mengalami pendarahan yang semakin hebat. Akhirnya pada tahun 8 Hijriah, Allah Ta’ala memanggil Zainab ke alam barzakh. Dia meninggal dunia dengan keridlaan dan cinta suaminya kepadanya. Dia pergi ke alam kubur dengan diiringi doa yang tulus dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam serta cucuran air mata kesedihan. Kaum Muslimin ikut bersedih melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersedih. Abul Ash ditinggal pergi dengan seribu satu kenangan suka duka kesetiaan dan cinta selama berumah tangga dengan Zainab. Kedua putra putrinya melepas ibunda dengan kesedihan pula. Dan ini memang taqdir Allah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun dari makhluk Allah Ta’ala. Selamat jalan Zainab, teladanmu sebagai Mu’minah, Muhajirah, dan wanita yang sangat setia kepada suaminya terus dikenang oleh segenap kaum Mu’minin. Perjuanganmu sungguh tak sia-sia. Semoga putri-putri Muslimat dan Mu’minat meneladani keimanan, kesabaran, dan kesetiaanmu. Amin.


Sumber : http://www.alghuroba.org/

Jika cinta bisa berbicara..


by Khodijah Al Atsariyyah on Saturday, December 26, 2009 at 8:33pm
BismiLLAhirrohmanirrohim..kali ini ana ingin berbicara tentang cinta,,

kawan,apa itu cinta menurut kalian?
Kawan apakah benar cinta saling memiliki?
Kawan,apakah cinta sudah hilang yang ada hanya saling menyakiti?
Kawan,apa yang dimaksud cinta sejati?
Kawan,mengapa diawal pembahasan ana ini ana mengucap basmalah?tahukan engkau mengapa?

Jika cinta bisa berbicara pasti dia akan menjawab semua pertanyaan yang ana lontarkan pada antum/antunna
Jika cinta bisa berbicara maka dia akan menjawab..
Cinta adalah aku..aku suci,aku berada dalam hati orang-orang yang sangat paham dengan diriku..aku tidak buta,aku tidak setuju para manusia berkata 'love is blind'cinta itu buta..dengan tegas aku katakan aku tidak buta tapi orang-orang yang dimabuk cinta itulah yang buta..aku suci,aku terhormat bagi orang yang dapat menghormati cinta..
Jika cinta bisa berbicara,maka dia akan menjawab..
Aku tidak berlaku saling memiliki dalam kalangan umat manusia..tak pantas bagi mereka yang merasa saling memiliki dan mengatasnamakan aku..aku akan berlaku saling memiliki pada orang-orang beriman yang menyerahkan total dirinya hanya pada kekasih hatinya yang selalu menemani juga memiliki mereka seutuhnya,,Dialah Allah SWT,betapa terhormatnya aku dalam hati orang-orang mukmin..
Jika cinta bisa berbicara,maka dia menjawab..
Aku takkan pernah hilang..jika aku berada dalam orang-orang tidak paham aku,maka aku akan bertempur dengan benci..akupun akan ternoda dan berdarah,bencipun menang dan akan menyakiti orang-orang yang pernah dicintainya,dialah orang yang buta merasa paham denganku padahal dia tidak paham..sebaliknya,aku akan damai nun tentram jika aku berada dalam hati orang-orang yang saling mencintai karena Allah SWT dan besar cintanya mereka pada Allah melebihi segalanya..maka tak ada yang menyakiti dan tersakiti,lagi-lagi aku merasa sangat terhormat didalam hati orang-orang mukmin..
Jika cinta bisa berbicara,maka dia menjawab..

Aku memang sejati bagi orang-orang yang mengharap cinta-Nya..sebaliknya aku tidak akan abadi nun sejati didalam hati orang-orang yang mengatasnamakanku dalam perbuatan maksiat mereka..aku sedih,diriku menjadi tidak sejati dikarenakan mereka yang tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatan mereka atas namaku..sangat licik mereka,apa yang aku katakan pada Sang Maha Pemberi Cinta nanti?

Jika cinta bisa berbicara,maka dia menjawab..

Anti mengucap basmalah sebelum memulai pembahasan anti ini karena anti sangat menghormatiku,anti mengetahui aku ditanamkan dalam hati orang-orang beriman oleh-Nya..anti tidak ingin generasi muda sekarang menodai diriku..anti tahu semua ini karena anti mempunyai pemahaman tentang aku dari pengalaman anti,pengalaman sahabat-sahabat anti yang pernah membutakan hati dengan hawa nafsu,bukan dengan aku..anti tahu semua tentang aku,karena anti selalu mencari ilmu tentang aku..aku berpesan kepada anti wahai akhwat/ikhwan yang paham tentang aku..aku mohon katakan kepada generasimu,generasi harapan,,aku suci,aku tidak ingin dinodai oleh nafsu birahi..yang aku ingin,aku bercampur dengan nafsu muthmainnah(ketenangan)nafsu yang ingin selalu berada di dekat-Nya..aku mohon sekali lagi kepada mereka di luar sana,bahwa aku(cinta) ingin dihormati..selayaknya hormatnya anak pada orang tuanya,hormatnya murid pada gurunya..jernihkanlah aku dalam beningnya hatimu dan teguhnya imanmu yang membuatku tentram berada dihati orang-orang yang sangat memahamiku..

Sekali lagi ku katakan,islam sangat keras dengan zina mendekatinya saja tidak boleh.karena apa wahai manusia?karena Allah tidak menginginkan aku(cinta)menjadi hitam pekat sangat menjijikkan dikarenakan ulah kalian..aku sangat sedih,dan aku tidak kuat jika diriku diatasnamakan untuk melakuka n hal-hal yang haram..terima kasih,sebelum kalian saling mencintai,pelajari dululah aku!!

Itulah kawan,jika cinta bisa berbicara,dia akan meringis,terisak seperti kalimat per kalimat dilontarkannya..
,

Hukum Chatting (Ngobrol) Antar Lawan Jenis Via Internet


by Khodijah Al Atsariyyah on Wednesday, August 25, 2010 at 10:24pm
Posted on Februari 26, 2010 by admin atsarussalaf
Oleh : Syaikh Nashir bin Hamd Al Fahd

Penanya: Aku adalah seorang pemuda. Aku punya hobi ngenet (main internet) dan chatting (ngobrol). Aku hampir tidak pernah chatting dengan wanita. Jika terpaksa aku chatting dengan wanita maka aku tidaklah berbicara kecuali dalam hal yang baik-baik.

Kurang dari setahun lalu ada seorang gadis yang mengajak aku chatting lalu meminta no HP-ku. Aku katakan bahwa aku tidak mau menggunakan hp dan aku tidak ingin membuat Allah murka kepadaku.

Dia lalu mengatakan, “Engkau adalah seorang pemuda yang sopan dan berakhlak mulia. Aku akan bahagia jika kita bisa berkomunikasi secara langsung”. Kukatakan kepadanya, “Maaf aku tidak mau menggunakan HP”. Kemudian dia berkata dengan nada kesal, “Terserah kamu kalo gitu”.

Selama beberapa bulan kami hanya berhubungan melalui chatting. Suatu ketika dia mengatakan, “Aku ingin no HP-mu”. “Bukankah dulu sudah pernah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak mau menggunakan HP”, jawabku. Dia lalu berjanji tidak akan menghubungiku kecuali ada hal yang mendesak. Kalau demikian aku sepakat.

Setelah itu selama tiga bulan dia tidak pernah menghubungiku. Akupun berdoa agar Allah menjadikannya bersama hamba-hamba-Nya yang shalih.

Tak lama kemudian ada seorang gadis kurang lebih berusia 16 tahun yang berakhlak dan sangat sopan menghubungi no HP-ku. Dia berkata dalam telepon, “Apa benar engkau bernama A?”. “Benar, apa yang bisa kubantu”, tanyaku. Dia mengatakan, “Fulanah, yaitu gadis yang telah kukenal via chatting, nitip salam untukmu”. “Salam kembali untuknya. Mengapa tidak dia sendiri yang menghubungiku?”, tanyaku. “Telepon rumahnya diawasi ketat oleh orang tuanya”, jawabnya.

Setelah orang tuanya kembali memberi kelonggaran, dia kembali menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Jangan sering telepon” namun dia selalu saja menghubungiku. Akan tetapi pembicaraan kami sebatas hal-hal yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk melaksanakan shalat, puasa dan shalat malam.

Setelah beberapa waktu lamanya, dia berterus terang kalau dia jatuh cinta kepadaku dan aku sendiri juga sangat mencintainya. Aku juga berharap bisa menikahinya sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya karena dia adalah seorang gadis yang berakhlak, beradab dan taat beragama setelah aku tahu secara pasti bahwa aku adalah orang yang pertama kali melamarnya via telepon.

Akan tetapi empat bulan yang lewat, ayahnya memaksanya untuk menikah dengan saudara sepupunya sendiri karena ayahnya marah dengannya. Inilah awal masalah. Aku mulai sulit tidur. Kukatakan kepadanya, “Serahkan urusan kita kepada Allah. Kita tidak boleh menentang takdir”. Namun dia meski sudah menikah tetap saja menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Haram bagimu untuk menghubungiku karena engkau sudah menjadi istri seseorang”.

Yang jadi permasalahan, bolehkah dia menghubungiku via HP sedangkan dia telah menjadi istri seseorang? Allah-lah yang menjadi saksi bahwa pembicaraanku dengannya sebatas hal yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk menambah ketaatan terlebih lagi ayahnya memaksanya untuk menikah dengan dengan lelaki yang tidak dia cintai.

Jawab:Saling menelepon antar lawan jenis itu tidaklah diperbolehkan secara mutlak baik pihak wanita sudah bersuami maupun belum. Bahkan ini adalah tipu daya Iblis.

Engkau katakan bahwa tidak ada hubungan antaramu dengan dia selain saling menasehati dan mengajak untuk melakukan amal shalih. Perhatikan bagaimana masalah cinta dan yang lainnya menyusup melalui hal ini. Bukankah engkau tadi mengatakan bahwa engkau mencintainya dan diapun mencintaimu sedangkan katamu topik pembicaraanmu hanya seputar amal shalih? Kami tahu sendiri beberapa pemuda yang semula sangat taat beragama berubah menjadi menyimpang gara-gara hal ini.

Wahai saudaraku bertakwalah kepada Allah. Jauhilah perkara ini. Cara-cara seperti ini lebih berbahaya dari pada cara-cara orang fasik yang secara terang-terangan ngobrol dengan perempuan dengan tujuan-tujuan yang tidak terpuji. Mereka sadar bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah maksiat. Sadar bahwa perkara itu adalah keliru merupakan awal langkah untuk memperbaiki diri.Sedangkan dirimu tidak demikian bahkan bisa jadi engkau menganggapnya sebagai sebuah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah kutinggalkan suatu ujian yang lebih berat bagi laki-laki melebihi wanita” (HR Bukhari no 4808 dan Muslim no 2740 dari Usamah bin Zaid).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِى النِّسَاءِ

“Sesungguhnya awal kebinasaan Bani Israil adalah disebabkan masalah wanita” (HR Muslim no 7124 dari Abu Sa’id Al Khudry).

Perempuan yang mengajakmu ngobrol dengan berbagai obrolan ini padahal tidak ada hubungan kekerabatan antara dirimu dengannya adalah suatu yang haram. Hati-hatilah dengan cara-cara seperti ini. Semoga Allah menjadikanmu sebagai salah seorang hamba-Nya yang shalih.

Tanya: Sekiranya jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah tidak boleh apakah boleh dia mengajakku ngobrol via chatting?

Jawab:Wahai saudaraku, hal ini tidaklah dibolehkan. Hubunganmu dengannya semula adalah chatting lalu berkembang menjadi komunikasi langsung via telepon dan puncaknya adalah ungkapan cinta. Apakah hanya akan berhenti di sini?Semua hal ini adalah tipu daya Iblis untuk menjerumuskan kaum muslimin dalam hal-hal yang haram. Bersyukurlah kepada Allah karena Dia masih menyelamatkanmu. Bertakwalah kepada Allah, jangan ulangi lagi baik dengan perempuan tersebut ataupun dengan yang lain.

Tanya: Apa hukum seorang laki-laki yang chatting dengan seorang perempuan via internet dan yang dibicarakan adalah hal yang baik-baik?Jawab:Tidak ada seorangpun yang bisa mengeluarkan fatwa yang bersifat umum untuk permasalahan semisal ini karena ada banyak hal yang harus dipertimbangkan masak-masak. Fatwa yang bisa saya sampaikan kepadamu adalah obrolan dengan lawan jenis yang semisal kau lakukan adalah tidak diperbolehkan. Bukti nyata untuk hal ini adalah apa yang engkau ceritakan sendiri bahwa hubunganmu dengan perempuan tersebut terus berkembang ke arah yang terlarang.

(Dinukil dan diterjemahkan dari Majmu Fatawa Al Adab karya Nashir bin Hamd Al Fahd). 

Hukum wanita haid membaca Al-Qur'an


by Khodijah Al Atsariyyah on Monday, September 20, 2010 at 8:44pm
 
Tanya Jawab
Al Ustadz Abu Zakaria Rizqi
“Bolehkah membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah kita jika hafal dalam keadaan haid?Karena takut kita lupa ayat Al-Qur’an tersebut.Perlukah kita meniatkannya sebagai dzikir?”(noorsaadah***@yahoo.com)
BismiLLahirrohmanirrohim
Terkait masalah yang di tanyakan oleh penanya,merupakan permaslahan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama,baik dari generasi terdahulu hingga ulama kontemporer di masa ini.
Mayoritas ulama,dari para imam yang empat,berpendapat “pengharaman” membaca  ---terlebih lagi menyentuh ---mushaf Al Qur’an ---.Hingga imam An-Nawawi mengatakan,”Mazhab kami ---yaitu ulama Asy-Syafi’iyah ---berpendapat pengharaman bagi seorang yang junub dan wanita membaca Al Qur’an baik sedikit terlebih lagi banyak(ayat),bahkan walaupun setengah ayat.Dan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama.”
Mayoritas ulama ini berargumen dengan sejumlah dalil syara’,diantaranya:
  • Dasar pijakan/dalil yang pertama:
Dan tidaklah Al Qur’an tersebut di sentuh kecuali oleh al muthahharuun(QS.Al-Waqi’ah:79)

Dalam menafsirkan ayat ini,Ibnu katsir rohimahuLLah mengatakan,”Ulama lainnya menafsirkan bahwa maksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tidaklah Al Qur’an tersebut di sentuh kecuali oleh al muthahharuun.”Yaitu bersih dari junub dan hadas.Mereka mengatakan bahwa konteks ayat ini bersifat pengkabaran,namun maknanya adalah perintah,yaitu tidak diperbolehkan menyentuh Al Qur’an kecuali dalam keadaan bersih/suci.Dan mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Qur’an pada ayat ini adalah mushaf,sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam Muslim,dari hadis Ibnu Umar rodhiyaLLahu ‘anhu,dia mengatakan bahwa RosuluLlah shollaLLahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang berpergian dengan membawa Al Qur’an ke negeri musuh,karena dikhawatirkan Al-Qur’an tersebut akan di jangkau/direbut oleh pihak musuh.”(Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,Surah Al-Waqi’ah)
Dan Mayoritas ulama ini memberikan jawaban atas makna”al-muthahharrun”yang diinterpretasikan/ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagian para malaikat.Mereka mengatakan bahwa jika makna/tafsir ayat tersebut adalah malaikat,maka penyebutan kesucian mereka di ayat ini adalah isyarat akan kewajiban thaharah/bersuci bagi selain mereka di saat menyentuh mushaf Al-Qur’an,lebih diutamakan.

  • Dalil yang kedua:Hadis AbduLLah bin Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm,bahwa di dalam sebuah surat yang ditulis oleh RosuluLLah shollaLLahu’alaihi wasallam kepada Amru bin Hazm,”Agar tidaklah seseorang menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan bersih.”Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam Al-Muwaththa’dan dishahihkan oleh Imam Ahmad,Ibnu Abdil Barr mengatakan,”Ulama telah bersepakat untuk menerima dan mengamalkannya.”
  • Dalil yang ketiga:Bahwa pendapat ini adalah pendapat yang telah populer di generasi sahabat dan tabi’in,sampai sebagian menganggapnya hampir mencapai taraf ijma’/konsensus ulama.
Terdapat pendapat lainnya di kalangan ulama yang berpendapat hukum karahah(makruh)bagi wanita haid membaca Al-Qur’an demikian juga bagi orang junub.Dan wanita nifas dianalogikan kepada wanita haid.Pendapat tersebut adalah pendapat Umar bin Al-Khaththab rodhiyaLLahu ‘anhu,Ali bin Abi Thalib rodhiyaLLahu ‘anhu,Jabir bin AbduLLah rodhiyaLLahu’anhu,Al Hasan bin abi Al Hasan Al-Bashri rodhiyaLLahu’anhu,Ibrohim An-Nakhai,Az-Zuhri rodhiyaLLahu’anhu,Qatadah rodhiyaLLahu’anhu dan selainnya.Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.
Kedua pendapat di kalangan para ulama tersebut didasari oleh hadist yang diriwayatkan oleh AbduLLah bin Umar rodhiyaLLahu’anhu,di mana beliau mengatakan bahwa RosuluLLah shollaLLahu’alaihi wasallam bersabda,”Janganlah seorang wanita haid dan nifas membaca Al-Qur’an.”(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam sunnah)
  • Pendapat lain dalam masalah ini,yakni pendapat beberpa ulama yang membolehkan bagi wanita untuk membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid maupun nifas.Pendapat yang ini adalah pendapat yang diriwayatkan dari AbduLLah bin Abbas rodhiyaLLahu’anhu serta salah satu riwayat dari Imam Asy-Syafi’I sebagaimana yang di kutip oleh Abu Tsaur.
Mereka berargumen bahwa tidak terdapat keterangn yang shohih/otentik baik dari Al-Qur’an mau pun As-Sunnah yang menyebutkan larangan membaca Al-Qur’an dari mushhaf bagi wanita haid atau nifas.Mereka juga berargumen dengan hadis Aisyah rodiyaLLahu ‘anha pada saat pengerjaan haji,bahwa RosuluLLah shoLLaLLahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,”Kerjakanlah segala yang dilakukan oleh seorang yang berhaji,hanya saja engkau tidak diperbolehkan melakukan thawaf di BaituLlah.”(Hadis ini diriwayatkan oleh Al Bukhori no.294,1305,1289 dan 5548 dan oleh Muslim didalam Kitab Al-Hajj:119-120)
Sudah ma’ruf bahwa seorang yang sedang melakukan ihram,pastilah membaca Al-Qur’an,sementara RosuluLLah shoLLaLLahu’alaihi wasallam tidak melarang sama sekali.
Adapun hadis AbduLLah bin Umar rodhiyaLLahu’anhu,dimana RosuluLLah shoLLaLLahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Janganlah seorang wanita haid dan nifas membaca Al-Qur’an.”Hadis ini adalah hadis dho’if(lemah),pada sanadnya terdapat Ismail bin ‘Ayyasy yang meriwayatkan hadis ini dari Musa bin ‘Uqbah.Yang shohih,hadis ini diriwayatkan secara mauquf dari perkataan Ibnu Umar rodhiyaLLahu’anhu.Hadis ini juga diingkari oleh Imam Ahmad,Al-Bukhori,Al-Baihaqi,Ibnu Adi dan selain mereka.
Sedangkan analogi membaca Al-Qur’an dengan menyentuh mushhaf Al Qur’an sebagaimana pandangan sebagian besar ulama,bukanlah suatu yang lazim.WaLLahu Ta’ala A’lam bish-Showab.
Lihat pembahasan ini lebih lanjut di dalam: Al-Muwaththa’2/178,As-Sunan Al-Kurba karya Al-Baihaqi 1/89 dan 309,Al Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah 2/256, Al Mushannaf Aburrazaq 1/335,Al-‘Ilal Wa Ma’rifah Ar-Rijal no.5675,Al-Ilal karya Ibnu Hatim no.116,Al-Istidzkar 2/458,Al-Awsath karya Ibnul Mundzir,Al-Isyraf karya Ibnul  Mundzir 1/296-298,Al-Majmu’Syarh Al-Muhadzdzab 2/182,Al Muhalla karya Ibnu Hazm 1/77-78,Nail Al-Wathar 2/320-324,Majmu’ Al-Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 21/459,Al-Fatawa Al-Iraqiyah 1/316-317 dan 443-444,Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah hal 92 no.71-72 karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i.
Tanya jawab
“Saat mengalami haid atau nifas apakah boleh seorang wanita membaca Al-Qur’an atau masuk ke dalam masjid untuk mengajari anak-anak membaca Al-Qur’an?” –Dian(di_an***@yahoo.com)
BismiLlahirrohmanirrohim,
Masalah yang berkaitan dengan hukum membaca Al-Qur’an,baik sambil menyentuh mushhaf atau tidak telah disebutkan pada penjelasan di atas.Adapun terkait dengan hukum masuk ke masjid bagi wanita,ulama Islam telah berbeda pendapat dalam masalah ini,tidak terdapat dalil shohih yang dengan tegas melarang wanita haid masuk ke dalam masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahuLLah menyebutkan dalam salah satu fatwa beliau:”Seorang wanita berdiam di dalam masjid jika dalam keadaan darurat,adalah suatu hal yang diperbolehkan.Semisal jika wanita tersebut khawatir ada seseorang yang akan membunuh/menyakitinya apabila dia tidak masuk ke dalam masjid,atau dikarenakan udara yang sangat dingin,atau karena wanita tersebut tidak memiliki tempat bernaung selain masjid.Telah shahih diriwayatkan dari Nabi shoLLaLLahu ‘alaihi wasallam di dalam Shahih Muslim dan selainnya,dari hadis Aisyah rodhiyaLLahu’anhu,bahwa beliau mengatakan,RosuluLLah shoLLaLLahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku,”Ambilkan al-khumrah(yaitu sajadah yang dipergunakan untuk sujud)dari dalam masjid.”Lalu aku berkata,”Aku dalam keadaan haid!”Beliau shoLLALLAHU ‘alaihi wasallam menjawab,”Sesungguhnya haidmu tidaklah berada pada tangan-mu.”1
Dan juga diriwayatkan dari hadis Maimunah rodhiyaLLahu ‘anha istri nabi shoLLAllahu’alaihi wasallam,beliau mengatakan,RosuluLLAH shollaLLahu’alaihi wasallam pernah meletakkan kepala beliau di pangkuan salah seorang dari kami,sambil beliau melantunkan Al-Qur’an,sementara istri beliau dalam keadaan haid.Dam salah seorang kami berdiri mengambilkan khumrah beliau ke masjid kemudian menghamparkannya,dan istri beliau ShoLLallahu’alaihi wasallam tersebut juga dalam keadaan haid.(Diriwayatkan oleh An-Nasa’i2)
Abu Dawud juga telah meriwayatkan dari hadis Aisyah rodhiyaLLahu’anha dari beliau ShollaLLahu ‘alaihi wasallam,bahwa beliau ShollaLLahu’alaihi wasallam bersabda,”Saya tidak menghalalkan/membolehkan masjid bagi seorang yang dalam keadaan junub dan tidak juga bagi wanita yang dalam keadaan haid.”3
Ibnu Majah juga meriwayatkan hadis Ummu Salamah rodhiyaLLahu’anha4.Namun kedua hadis tersebut adalah hadis yang diperbincangkan di kalangan ulama hadis.
Karena inilah sebagian besar ulama seperti Imam Asy-Syafi’I,Ahmad dan selain mereka berdua berpendapat adanya perbedaan antara melintasi masjid dan berdiam di dalamnya sebagai interpretasi penyautan hadis-hadis di atas.
Dan di antara para ulama,terdapat pendapat yang melarang wanita haid berdiam diri dan melintas di dalam masjid,semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.Dan diantara para ulama,ada yang membolehkan masuk ke dalam masjid bagi wanita haid.”
Selesai dari Al-Fatawa Al-'Iraqiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahuLLah.





Footnote:
1)      Hadis Aisyah rodhiyaLLahu’anha diriwayatkan oleh Ashhab As-Sittah kecuali Al-Bukhori.Hadis  yang      serupa juga diriwayatkan dari hadis Abu Hurairah rodhiyaLLahu’anhu,pada Shahih Muslim dan selainnya.
2)      Pada sanadnya terdapat Manbudz bin Abi Sulaiman dari ibunya,dan keduanya adalah perawi yang majhul.Namun terdapat hadis yang senada dari hadis Aisyah rodhiyaLLahu’anha,beliau mengatakan bahwa RosuluLLah shoLLaLLAHU ‘alaihi wasallam sering meletakkan kepala beliau di pangkuanku kemudian beliau melantunkan Al-Qur’an.Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
3)      Dari jalan Al-Aflat bin Khalifah dari Jasrah binti Dujajah.Jasrah binti Dujajah,seperi disebutkan oleh Al-Hafizh di dalam At-Taqrib,”Dia perawi yang maqbullah”Yaitu hadisnya lemah kecuali jika terdapat jalan yang menguatkannya(yaitu pada kedudukan mutaba’ah dan syawahid) 
4)      Pada sanadnya terdapat Abu Al-Khaththab Al-Hajari dari Mamduh Adz-Dzuhli  dan keduanya perawi yang majhul.


Sumber:Majalah Akhwat vol.2/1431/2010 halaman 80-83,www.akhwat.or.id,www.akhwat.web.id,www.darussunnah.or.id 


Fatwa Ulama
Telah ditanyakan kepada Al-Muhaddis Syaikh Muhammad Nasruddin Al-Albani rohimahuLLAH:”Apakah diperbolehkan bagi seorang wanita haid masuk ke dalam masjid?”
Jawab:
Diperbolehkan bagi wanita haid masuk ke dalam masjid dengan dalil salbi dan dalil lainnya dalil ijabi.
Adapun dalil salbi,yaitu tidak terdapat dalil yang melarang wanita memasuki masjid.Dan dalil ini sejalan dengan kaidah ushuliyah yang menyatakan:”Hukum asal dari segala sesuatu adalah pembolehan.Dan larangan terhadap sesuatu dituntut untuk menghadirkan dalil yang spesifik.”Dan tidak satu pun hadis yang shahih dalam hal pelarangan wanita haid masuk ke dalam masjid.
Sedangkan dalil ijabi,yaitu hadis Aisyah rodhiyaLLahu’anha di dalam Shahih Al-Bukhari dari hadis Jabir bin AbduLLAH Al-Anshari rodhiyaLLAHu ‘anhu,di saat beliau ---Aisyah rodhiyaLLAHU’anha ---mengalami masa haid pada haji al-wada’.Dan Nabi shoLLALLAHU’alaihi wasallam singgah di tempat yang dekat dari Makkah yang dinamakan Sarf.Ketika RosuluLLAh shollaLLAHu’alaihi wasallam masuk menemui Aisyah rodhiyaLLAHU’anha,beliau shollaLLAhu’alaihi wasallam mendapatinya dalam keadaan menangis,maka beliau shollaLLAHU’alaihi wasallam bertanya kepadanya,”Ada apakah denganmu?Apakah engkau mengalami haid?”Beliau shollaLLAHU’alaihi wasallam kembali bersabda,”Sesungguhnya ini(haid)adalah sesuatu yang Allah telah gariskan bagi putri-putri Adam.Lakukanlah semua yang dikerjakan oleh para haji hanya saja engkau tidak diperbolehkan mengerjakan thawaf dan sholat.”
Hadis ini adalah nash pembolehan bagi wanita haid untuk masuk ke dalam masjid,bahkan ke dalam masjidil Haram,Dikarenakan Nabi shollaLLAHu’alaihi wasallam membolehkan bagi Aisyah rodhiyaLLahu’anha untuk melakukan semua amalan yang dikerjakan para pengerja ibadah haji.Adapun bagi wanita haid,dikecualikan dari setiap amalan dalam manasik haji yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji,wanita haid tidak diperbolehkan mengerjakan thawaf dan tidak juga mengerjakan sholat.
Dengan demikian,wanita haid diperbolehkan masuk ke dalam masjid,membaca mushhaf,dan siapa saja yang mengklaim pendapat yang menyelisihi hal itu,diharuskan baginya untuk menetapkan dalil pengharaman.Kemudian  - -juga –menetapkan bahwa pengharaman ini setelah pembolehan tersebut.”(Lihat di dalam Masa’il Nisaa’iyah Mukhtarah Min Fiqh Al-‘Allamah Al-Albani hal.21)
Semoga bermanfaat untuk ana khususnya dan muslimah lain pada umumnya.


Sumber:Majalah akhwat vol.2/1431/2010 halaman 84,www.akhwat.or.id,www.akhwat.web.id,www.darussunnah.or.id

Makna Istihadhah Dan Kondisi Wanita Mustahadhah


by Khodijah Al Atsariyyah on Saturday, August 28, 2010 at 2:08am
 Minggu, 15 Mei 2005 06:57:19 WIB

ISTIHADHAH DAN HUKUM-HUKUMNYA


Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]


[1]. Makna Istihadhah

Istihadhah ialah keluamya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.

Dalil kondisi pertama, yakni keluamya darah terus-menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al- Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

"Ya Rasulullah, sungguh aku ini tak pemah suci " Dalam riwayat lain• "Aku mengalami istihadhah maka tak pemah suci. "

Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:

"Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali. " [Hadits riwayat Ahmad,AbuDawud dan At-Tirmidi dengan menyatakan shahih. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan]

[2]. Kondisi Wanita Mustahadhah

Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah: [a]. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat. "[Hadits riwayat Al-Bukhari]

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy: "Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat. " Dengan demikian,wanita mustahadhah yang haidnya sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biar pun darah pada saat itu masih keluar.

[b]. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental,. atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali mendapati darah dan darah itu keluar terus menerus; akan tetapi ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwama hitam kemudian setelah itu berwama merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau maka haidnya yaitu darah yang berwama hitam (pada kasus pertama), darah kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (padakasus ketiga). Sedangkan selain hal tersebut, dianggap sebagai darah istihadhah.

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Darah haid yaitu apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit.” [Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'i dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, telah diamalkan oleh para ulama' rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.

[c]. Tidak mempunyai haid yangjelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Seperti: jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus-menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya.

Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah Sedang selebihnya merupakan istihadhah.

Misalnya, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus-menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui wama ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadah yang deras sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak dari itu". Nabipun bersabda: "Ini hanyalah salah satu usikan syetan. Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Ta'ala lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 3 hari, dan puasalah." [Hadits riwayat Ahmad,Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At-Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan]

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : 6 atau 7 hari tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal 44 - 49 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad Yusuf Harin. MA]